Yang Dianggap Ringan Ternyata .... BP39

    Bagi sebagian orang mungkin ringan, tetapi tidak bagi sebagian yang lain, bisa-bisa dianggap sebagai bencana. Tetapi begitulah kehidupan, semakin manusia menuntut kesempurnaan maka akan semakin sempit.


   Setiap orang pasti punya titik lemah, malas, tak berdayanya, hanya saja ukuran dari tiap masing-masing amatlah berbeda, seperti halnya porsi makan dan porsi kepekaan akan kebersihan.


   Semua itu tak terlepas dari mana dan bersama siapa seseorang itu hidup, tumbuh, dan berkembang (mungkin). Jadi ada peran dan pengaruhnya dari tiap tempat, karena tentu tiap tempat kebiasaanya masing-masing.


   Jangila sangat benar-benar tak habis pikir kalau dia harus muntah kedua kalinya setelah muntah di bis selama perjalanan menuju rumah kedua orang tua kandungnya. Kesal dan makin muak saja melihat keadaan kedua orang tua kandungnya.


   "Sial! Sial! Nyesel banget ke sini! Orang tua macam apa, pantas aja! Mengurus diri mereka sendiri aja gak mampu, apa lagi ngurusin aku! Kenapa sih!" Jangila geram sambil mengepalkan tangan kanannya, dia menghidupkan keran dengan porsi tekanan penuh, kemudian dia menghantamkan kepalan tangannya ke tembok, rasanya dia sangat menyesal amat mendalam karena telah memutuskan sesuatu yang salah.


    Wuuuokk! ....

Muntahan dari mulut Jangila tak tertahan lagi, perlahan tapi pasti, air matanya pun berlinang, sedih betul hari itu rasanya, kecewa, kesal, sakit hati, seakan dirinya belum bisa menerima keadaan orang tuanya yang seperti itu.


   Karena suara air yang keluar dari keran cukup kencang, mereka (kedua orang tuanya Jangila) tak mendengar hantaman pukulan yang dipukulkan Jangila ke tembok. 


   Pak Pema dan Bu Pendus saling pandang kemudian mereka berulang kali memastikan ketiak mereka dengan berulang kali menciuminya. "Emang bau ya ketek kita, perasaan kita udah tinggal bertahun-tahun tinggal bareng gak pernah saling ngeluhin bau badan masing-masing ya?" Bu Pendus coba memastikan lagi.


   Pak Pema menelan ludahnya dalam-dalam. Hatinya bergejolak, sebenarnya dia merasa kebauan dengan ketiak istrinya, hanya saja dia selalu berlagak 'biasa' aja, dia tak enak bila harus membuat sedih hati istrinya.


   Lebih memilih menganggap 'biasa' saja dari pada harus meributkan hal-hal yang masih Pak Pema bisa ditahan dengannya. "Mungkin kita harus pakai deodorant Bu," Pak Pema coba mengingatkan istrinya dengan lembut.


   Terlihat Bu Pendus seperti sedang memikirkan saran suaminya. "Kasian juga Bu dia, ya?" Bu Pendus mulai bisa mencerna perkataan suaminya. "Baiklah, yuk kita pakai deodorant dan merajinkan mandi ketika badan mulai lengket." 


   Seperti perosotan di pinggir pantai yang langsung terjun curam ke arah dasar laut, lega, tapi juga terkejut, senang juga datang menyelimuti hati. Memang tak ada yang benar-benar selamanya. Hanya sementara.


   Bu Pendus segera beranjak dari duduknya, menghampiri Jangila yang sedang di kamar mandi, "Ngil," panggilnya, kemudian dia tiba-tiba menutup mulut lalu berjalan cepat ke arah suaminya.


   Terkejut Pak Pema, "Aih! Kenapa lagi Bu!?" Tanyanya. Bu Pendus hanya mengebas-ngebaskan bajunya dari arah ketiaknya yang basah. "Aku beli deodorant dulu di warung, buat kita, kasihan Jangila." Tukasnya sambil berlalu keluar rumah.


   Langkahnya dipercepat menuju warung. Dalam perjalanan. "Kenapa bisa sampe kayak gitu ya si Ngila, masa' iya sih sampe segitunya!? Ah terlalu lebay dia itu," kemudian Bu Pendus mencium lagi ketiaknya. "Wangi gini kok!" Katanya penuh percaya diri, tetapi langkahnya tetap saja mengarah ke warung terdekat untuk deodorant.


   Jangila masih di kamar mandi dalam keadaan mengumpat, nampak kesal dan menyesal betul telah merencanakan juga melangkahkan kakinya menuju kediaman kedua orang tua kandungnya, memang hanya terlihat mudah, nyatanya ....


   Banyak hal-hal yang jauh di luar prediksi terjadi, memang semua yang direncanakan belum tentu pantas terwujudkan. Hati biasanya sedih jika yang diinginkan dan telah direncanakan jauh-jauh hari, malah berantakan.


   Sesedih apapun, tetapi memang begitulah karakteristik dari kehidupan yang amat sangat sementara ini. Memang terasa jauh dari rencana yang telah dituliskan, itu bagi yang tak biasa berterima kasih kepada sang Pencipta.


   Pak Pema terduduk seperti orang bodoh saja. Planga-plongo, memikirkan akan apa yang baru saja terjadi di depannya begitu cepat. "Ternayat selama ini kita hidup dalam kebencian orang-orang, gilanya aku dan istriku!"


   Penyesalan itu nampak cukup jelas dari wajahnya Pak Pema. Tetapi apalah yang mau dikata, semua telah terjadi selama belasan tahun, bukan waktu yang sebentar dan singkat, lumayan cukup untuk pertumbuhan beberapa kebun pohon jati.


   Pedagang yang kedatangan Bu Pendus heran, lantaran selama dia kenal dengan Bu Pendus, belum pernah beli deodorant, "seinget aku, selama warung ini berdiri, belum pernah Si Pendus beli deodorant, ada apa ya ini!?" 


   Dengan tatapan yang tak biasa si pedagang itu melihat ke arah Bu Pendus dengan tatapan curiga yang menjengkelkan. "Lu ngapa sih!? Ngeliat gw kayak ngeliat 'teroris!' era itu udah berubah nye*!" Katanya dengan intonasi tinggi.

   

   Pedagang itu melempar senyum dengan terpaksa lalu menggelengkan kepala. "Makasih ya Bu Pendus udah beli di toko aku, dari dulu, semenjak warung ini mulai buka hingga sekarang, yang benar-benar setia bisa dihitung, salah satunya kamu Bu." 


   Dua orang gila yang saling memberikan sugesti 'kesetiaan' pun setidaknya akan menemui kejanggalan-kejanggalan pada hidupnya, meski hanya sesaat. Kesetiaan hanya ada pada makhluk-makhluk yang tertentu dan langka.


    Bu Pendus segera melangkahkan kakinya menuju ke rumah kontrakannya, dengan tentengan deodorant sasetan yang sudah di genggamannya. "Dengan ini, Jangila bisa merasa nyaman lah, setidaknya walaupun hanya semalam," Bu Pendus seolah menyeruak dari kepala sebuah tanduk jahatnya, "Jangan lama-lama ya Ngila, kamu memang lebih pantas tak bersama kami selamanya, Hi Hi!" 

 

   Sesampainya di rumah, Bu Pendus masih merasa aneh, terutama dengan suaminya yang duduk termenung bagai orang bodoh, dengan kaki kanan kiri yang terselonjor begitu saja ke depan. Jangila pun masih meratapi penyesalannya karena telah datang ke rumah kedua orang tua kandungnya.


   Bersandar di tembok pintu masuk kamar mandi, kepalanya dihadapkan ke arah on off lampu kamar mandi. Bu Pendus mendatangi suaminya dan menggoyang-goyangkan pundaknya, "Yah! Kenapa sih kayak orang frustasi!?" 


   Pak Pendus hanya berekspresi datar, persis kayak orang bego. Mungkin dia ngerasa sangat aneh dengan Jangila yang sampai muntah ke kamar mandi hanya karena bau ketiak mereka, karena memang mereka tak menganggap masalah bau ketiak sebagai masalah besar, ringan bahkan biasa aja.


   "Ngil, kamu tidur di sini ya," kata Bu Pendus sambil menunjuk ke arah kasur yang masih tergulung di ruang depan. "Nanti tidur sama Ibu, Ayah di ruang tengah." Jangila hanya mengangguk pelan penuh keterpaksaan.


   "Yah, kalau gak mandi ganti baju baru, terus ini pakai deodorant," Pak Pema hanya mengiyakan kata-kata istrinya tanpa kata-kata, dia langsung mengganti baju dan segera mengoleskan deodorant di ketiaknya.


   Ketika Bu Pendus hendak membentangkan kasur yang masih tergulung itu, tiba-tiba kasur yang sedang dipegangnya terlepas begitu saja, kemudian mencium kembali ketiaknya. "Aduh! Ibu pun belum ganti baju dan pakai deodorant."


   Sesegera mungkin Bu Pendus mengganti baju dan mengoleskan deodorant di ketiaknya. Jangila yang melihat perubahan drastis dari tingkah laku kedua orang kandungnya menjadikan dia pun merasa tak enak hati.


   "... Sshh! Kasian juga mereka, harus sampai seperti itu," gumamnya dalam hati, "tetapi kalau tidak diingatkan, tak akan pernah mereka itu sadar kalau hal seperti itu sangat butuh perhatian lebih, biar saja lah." Gumamnya lagi.


   Kreeik ... Kretek ....

Suara pintu kamar mandi yang baru dibuka oleh Ayah kandungnya Jangila. "Ngila, makan dulu, kamu mau makan apa?" Tiba-tiba aja Ayahnya bertanya seperti itu, Bu Pendus yang mendengar itu agak geram, sebab pengeluaran mereka sangat pas-pas-an, sedang di rumah Bu Pendus hanya masak sayur asem dan tempe, serta sambal uleg yang tak terlalu banyak.


   Jangila yang sudah merasa tak enak itu segera menjawab, "Enggak Yah, masih kenyang," katanya sambil membenarkan alas tidurnya, Bu Pendus sudah was-was aja setelah mendengar jawaban Jangila.


   "Ntar kalau aku laper, makan yang ada aja Yah." Katanya, kemudian Jangila menatap langit-langit rumah kontrakan itu, dia berusaha mengingat masa-masa dahulu ketika dia masih kecil dan kontrakan itu sangat berantakan, Ayah yang pemabuk, Ibu yang pendusta ke mana-mana.


   Tetapi kini Jangila telah merasakan banyak perubahan pada diri mereka, khususnya setelah terpisah dalam rentang waktu yang cukup lama, mereka terlihat lebih manusia dalam mengais penghidupan di dunia yang sangat sementara ini.


   Setelah mendengar sahutan Jangila yang barusan dilontarkan barulah Bu Pendus merasa lega, "Akhirnya, dia bersikap dengan sikap yang aku inginkan," batinnya. 


   Lampu tidur pun dinyalakan ... Meski sangat sederhana suasana malam itu sangat menyentuh Jangila. Dia sepertinya sangat merasa ingin segera bekerja lalu ikut tinggal bersama kedua orang tua kandungnya, juga tentu tak lupa dengan membantu keuangan keluarganya meski hanya sedikit.


   Dalam keadaan yang cukup tenang itu, Bu Pendus juga melayangkan pikirannya. "Apakah ...." Kemudian macet di situ dan segera melihat ke arah Jangila. "Aku telah bersikap bengis terhadap darah dagingku sendiri ...."


   B e r s a m b u n g . . . .

   ____

RTD. Rabu 2 Februari 2022

halub© 6:20

  


Komentar

Postingan populer dari blog ini

BAGI YANG MENGHARAM- KAN KATA 'JANGAN', INGATLAH AL-QUR'AN!

Tetapkan Niat, Jelaskan Tujuan

Menghindari Kesusahan