Postingan

Menampilkan postingan dari April, 2022

Tengara Sempurna

Gambar
            Andia emang kalau maksain tengara yang sudah benar-benar sempurna kuat mengakar di hati, hampir 99,9% benar! Enggak akan pernah sama, setiap rencana harus dirahasiakan, ITU SUNGGUH BENAR-BENAR BUKAN IGAUAN!     Ujung-ujungnya nyesel lagi! Tak pernah sama, makan, minum, jalan-jalan, cara pandang, pola pikir, cita-cita, orientasi hidup. Jengah! Selalu mengatasnamakan INDIVIDUALIS! HAH!     PENYESALAN TIDA HENTI! KECUALI MATI! Punya sandal laksana tak bersandal! Cih! Kepala batu! Bertingkahlah sesuka kau! Peduli amat! Teruslah begitu sampai tak bernyawa! Ya, kau BENAR! SELALU BENAR!    Sepertinya tak ada lagi percaya, hmf! Gak akan ada juga rasa empati! Mumpung masih hidup, teruslah seperti batu koral! Pergi ke tempat di mana kreta melintas, rasanya lebih menenangkan.    Terlebih jika membayangkan tak pernah bertemu sebelumnya dan selamanya. Benar-benar hukuman seumur hidup, mungkin, ya lebih baik dari pada di alam sana hukuman yang ditunda.    Walaupun hal itu sudah dimengert

Sengaja Lupa

Gambar
        Dua orang teman saling berbincang tentang janji dan orientasi hidup. Nahirtif sebagai seorang pria tipe bertahan hidup dengan realita coba mengingat ulang ingatan akan janjinya juga temannya.    "Mar!" Terkejutlah Mareh dengan hentakan Nahirtif. "Mulut kau tak bisa pelan!? Kupingku masih sehat! Aku nih belum tuli! Mau kelahi!? Ayok langsung ja! Sekalian panggil tukang gali kubur!    Nahirtif menelan ludah sembari mengernyitkan kedua bibirnya. "Macam magma kau, muarah terus kerjakau." Timpalnya datar. Nampak jelas dari muka Mareh sudah tak nyaman lagi bicara.    Nahirtif tak peduli, janji dan orientasi tetaplah nomor satu. "Ey Mareh, ingatkah kau akan janji kau, ingin hafal 40 biografi ringkas ilmuan, untuk dijadikan panutan. Lalu tak silau dengan kehidupan orang lain?" Mareh makin nampak tak sedap dipandang mukanya, matanya pun menoleh kanan kiri tak jelas.    "Lupa aku Tif! Jangan pula kau mengada-ngada! Mana ada janji macam tu! Pokoknya

Nyuruh + Enggak Nyontohin

Gambar
           Bagaimana dipatuhi kalau yang memerintah pun abai akan apa perintah itu sendiri. Tak peduli kalau perintah yang diberikan terhadap orang lain tak kerjakan oleh dirinya sendiri.     Penolakan tentulah bermunculan dengan ganas, sebenarnya perlahan tapi mungkin gelombang kecil itu terlalu dianggap angin lalu, dilibaslah apa-apa yang memang pantas dilibas.    Alih-alih cemerlang perintah ini perintah itu, sedang diri sendiri hanya dibiarkan berlabuh seolah kapal yang karam di pinggir lautan. Orang yang memberi perintah, pemerintah bukan?     Faktanya pelanggaran tak jarang dari pihaknya dengan alasan yang takkan pernah habis. Boro-boro malu, udah enggak punya muka! Selagi masih bisa berwenang mengapa tidak!?    Urusan dibenci atau semacamnya adalah hal biasa di kehidupan ini, pun begitu juga tentang benar maupun salah, yah selagi kekuasaan memang bisa dengan mudah dibolak-balikan seenaknya.    Kan suatu kebagongan nyuruh orang lain jangan merokok tapi di tangan rokok sedang diap

Dengar Sampai Sunyi

Gambar
           Perbendaharaan langit mungkin dibiaskan menjadi banyak hal, mulai dari orang-orang yang punya hobi enggak senang melihat orang lain senang, senang melihat orang lain kesusahan.    Lebih suka ngoreksi tapi haram introspeksi. Ngebacot sana sini, lupa kalau pribadinya hancur karena keborosan kata-kata yang dilontarkan begitu saja tanpa pikir.     Pun juga ada yang berbentuk lain dari perbendaharaan langit, seperti para makhluk halus yang sangat tahu diri, tahu kalau dirinya sangat besar andil dalam perusakan moral jika suka obral.    Tentu hal yang amat sangat teramat langka di bumi ini, karena kebanyakan lebih suka jadi tukang obral, meski kedua orang tua, guru, dan saudara-saudarinya tak pernah mengharapkan, apa lagi menyuruhnya berbuat seperti itu.    Sisi lain yang juga mungkin masih termasuk dari kepingan perbendaharaan langit, adalah mereka-mereka pemilik telinga yang berkapasitas 'tanpa batas', selalu bisa mendengar dan merubah dari setiap kata-kata yang dipenuhi

Takut Tergeser

Gambar
           "Jangan kau ganggu singgasanaku! Terserah aku! Mau nepotisme! Mau menang sendiri! Mau saudara kandung atau teman dekat yang kuangkat sebagai tangan kananku, itu semua bukan urusan kau!    "Apa kau tak punya mata!? Siapa yang berkuasa!? Aku atau diri kau!? Berkacalah! Atau kau tak punya cermin untuk berkaca! Mau cari gara-gara hah! Bod*h nian kau ini! Renungkanlah! AKU INI PENGUASANYA!    "Kedatanganku dari kampung halaman ke kota ini, ekhem ... Untuk mencari penghormatan sejati! Sebab di kampungku penghormatan sangat tragis! TAPI! KALI INI KAU DATANG UNTUK COBA MERUNTUHKAN KERAJAANKU! MAU KELAHI! HAH!?    Aku yang disambar langsung dengan kata-kata tajam itu sontak rusak mentalku. Mataku menatap ke bawah, menatap tanah, berandai tak dilahirkan di bumi ini, segera paksa kutepis, kugerakan kepala ini agar menatap ke mukanya, meski berat tak mengapa, aku pun sudah terlalu geram dengannya.    "Pak, saya bukan bermaksud meruntuhkan, menggeser, mencabut, atau a

Dari Dulu Memang Begitu

Gambar
   Dengan gagah mengusung dada, jalan dengan lenggok jumawa, semua yang di depan mata salah, kecuali dirinya semata. Setiap desis suara kecil yang menandakan perendahan serta penistaan dirinya akan segera diberangus habis!    "Semua itu hanya penampilan biasa! Gitu gitu aja." Ungkapan merendahkan orang lain sudah biasa keluar dari dasar tengkoraknya yang terdalam. Tak ada yang istimewa—kecuali dirinya semata.     Memanggil seseorang yang masih berasal dari silsilah keluarganya, tentu—orang-orang menyaksikan itu tak sebodoh yang dipikirkannya. "Lihat! Si senior bertingkah seolah-olah semuanya harus menutupi kesalahannya!" Seruan orang-orang yang ditindas ketentramannya.    Yang lain pun ikut bersuara. "Orang itu emang kayak gitu dari dulu, males tugas, tapi soal bayaran nomor satu, mau hasil tapi tak mau berpeluh ria, hanya mau ber-ria semata dan mengoreksi setiap—yang dianggapnya sebagai ancaman penggeser tahtanya.    Lucu! Tapi bengis! Meski sebenarnya enggak

Manusia Suci Pemegang Kunci Surga

Gambar
    Bangunan berbaris rapi, dari awal mata memandang sudah menimbulkan decak kagum, tertata dengan begitu indahnya. Pepohonan pun ditanami sebagai penyejuk udara ketika sengatan panas matahari menerpa.    Nampak anak-anak berlalu lalang dengan riang, wajah mereka menyiratkan kebahagiaan tiada tara, entah apa yang sedang mereka bicarakan. Aku yang melihat pemandangan itu merasakan dua hal: penasaran dan curiga.    Karena memang dunia ini punya banyak muka, tak bisa dinilai secepat dan se-praktis itu ketika seseorang bertemu dengan orang lain lalu kedua belah pihak saling menilai dengan versi pandangannya masing-masing, yang belum tentu valid kebenarannya.    Karena hari itu aku mendapati desas-desus kalau sebagian anak-anak sudah kecanduan nikotin tingkat tinggi, hanya saja mereka selalu bisa berwajah indah ketika berhadapan dengan tiap orang, terutama orang-orang yang dianggap sebagai ancaman ketenangan hidupnya.    Aku kumpulkanlah anak-anak melalui pengeras suara, padahal saat itu su

Jangan Salahkan Aku!

Gambar
   Perkumpulan kompetitif selalu terjadi. Ada yang mempertahankan reputasinya dengan segala macam cara agar selalu terlihat terhormat. Ada yang biasa saja, kalau salah ya salah aja, enggak perlu dicuci tangankan.    Kesekian kalinya untuk komentar bertajuk 'merendahkan' diutarakan dengan leluasa, seolah-olah Prof di bidang yang sedang dikomentarinya, bahkan kalau dilihat-lihat, mencontohkan yang lebih baik dari sesuatu yang dikomentari saja tidak bisa.    Tidak bisa kawan, hanya banyak bac*t aja! Ngomong sana sini, ngebac*t sana sini tentang orang-orang yang menurutnya tak sejalan dengan segala hal yang seharusnya sesuai dengan ekpektasinya. Hebat enggak tuh!?    Oh! Jelas hebat banget lah! Di zaman yang sekarang ini cuci tangan semudah berprasangka, memang sangat mengerikan. Lebih-lebih untuk mengakui sebuah kesalahan saja di zaman yang hari ini menutup dan membuka semudah mengedipkan mata, nadir rasanya.    Rasa-rasanya lebih banyak orang-orang yang pintar menyalahkan orang l

Diurus Zaman, Tergerus

Gambar
     Berjalan, tangan keriput itu menggenggam sebuah belanjaan; sayur-sayur-an dan bahan-bahan pendukung lainnya. Sebentar! Tak lupa dua minuman soda ternama ukuran botol besar. Wajahnya sudah sangat mengkerut, tetap berjalan tangguh dengan tentengan belanjaan itu.    Pikirannya tertuang penuh untuk keluarga, keluarga, terutama anak-anaknya.     Sebelum Ibu tua itu keluar untuk belanja keperluan rumah, seorang anak bersama adiknya yang sedang asik main game online, tanpa melihat sedikit pun ke arah Ibunya. "Ma, nanti jangan lupa beli minuman fa** dan Co***** ya."    Adiknya pun ikut menimpali. "Iya Ma jangan lupa ya, itu minuman kesukaan kita." Juga dengan kedua tangan yang masih menempel di layar hp, tentu juga tanpa menghadapkan wajah ke Ibunya.    Ibunya hanya menelan ludah, menatap kosong ke kedua anaknya yang sudah seharusnya bekerja dan tak lagi nempel terus di rumah orang tua, malah asik saja, tak peduli dengan tingkah lakunya yang heum 'membanggakan!'

Basa Basi Ta*!

Gambar
     Di tempat pemberhentian bis duduk di luar tempat ritual suci dua orang; pria dan wanita dengan obrolan yang bagi mereka pun juga suci. Tanya kabar-kabir-kubur! Basi banget! Dari mana ke mana!?    Di Negeri Archimrald ini terlalu banyak lapisan yang tak terendus, dianggap santun, nyatanya beloOn! Pertemuan yang sangat disengaja, padahal bisa dihindari.     "Oh Kamunya suka ke Sijorse!?" Si wanita mulai bertanya antusias dengan memaksa nampakan kalau dirinya cantik. Si pria dengan gaya santai yang sebenarnya sudah sangat senang sekali.    "Ya, gak suka juga kali, cumen sesekali aja." Dengan mimik muka sok enggak tertarik. "Iihh itumah tempat kelahiran aku tau!" Si wanita mulai, perlahan tapi pasti menggilanya. Si pria makin berantakan.      "Wah bisanya kamu lahir di sana!?" Alih-alih biar dikira ikut terpana dengan kabar kalau wanita itu asli penduduk Sijorse, padahal bukan itu, tetapi lain lagi, dan betul si pria hanya memikirkan itu.    Di

Tidur Pagi

Gambar
     Ramni biasa merebahkan badannya setelah jam 5.12 pagi, awalnya hanya sekedar merilekskan kepenatannya di malam hari yang selalu digunakan untuk membaca buku.    Dari buku-bukunya yang telah dibacanya ada satu buku yang mengajarkan kepadanya untuk tidak tidur pagi, lebih-lebih setelah jam 5.00 sampai jam 06.00.     Apa daya? Terkadang hembusan udara halus sudah seketika itu juga merebahkan badannya tanpa paksa, penuh kelembutan dan kesantunan. Matanya pun kedip-kedip, antara menahan tidur dan tetap melek.    "Ram! Ram! Bangun! Mau terus sampai sore!?" Suara salah seorang temannya membangunkan. Matanya terbuka perlahan. Apa lagi sih ini!? Baru aja merem, udah banyak bac*t aja tuh orang!    Karena Ramni memang tak melihat langsung kondisi yang sebenarnya, maka dia memutuskan untuk kembali merebahkan badannya di kasur empuk yang masih bernuansa sejuknya pagi hari.    Matanya kembali berkedip, kali ini entah tanda apa lagi, mungkin juga tanda akan punya uang banyak atau dapat

Mati Karena Tak Bisa Adaptasi

Gambar
     Pencarian itu benar-benar dimudahkan, banyak teman yang memberikan saran sekaligus jaringannya, tentu menembusnya dengan sangat mudah.    Sayangnya ketika sudah berada dalam jaringan yang disarankan oleh teman-teman yang begitu baik, di sana malah merasa tersingkirkan.    Ada penghalang besar yang membuat pribadi merasa harus mundur. Lebih mendahulukan insting sendiri tanpa mau ambil pusing untuk diskusi.    Akhirnya orang-orang yang berada di dalam jaringan itu amat sangat menyayangkan kemunduran yang mendadak. Hanya karena merasa tak mampu.    Padahal mereka-mereka itu sudah siap jika kemungkinan pribadi yang belum bisa mencapai skema wajib tertentu akan ada keringanan-keringanan lain yang tak kalah ramahnya seperti awal mula gabung.    Apa mau dikata? Berhenti sebelum ada instruksi untuk berhenti secara jelas, menyerah sebelum kekalahan telak datang secara alami.    Betapa pentingnya sebuah sikap 'beradaptasi' terhadap apa yang menghadang di depan, ini belum perang anta

Kritik Menggelitik

Gambar
        Di sebuah keluarga besar Hema seluruh anggota hadir untuk berbincang lepas.    Ada Toscalb, Halib, dan Ziha, lalu tak kalah antusias dua adik perempuan Tuke dan Katja. Kedua mata lentik adik perempuan itu menatap tajam ke Kakaknya yang bagi mereka memang nyata paling malas.    Halib dan Ziha tahu akan itu tapi mereka diam, sebab mereka kerja di tempat yang berbonafit (bisa lah ke BandarDjakarta tiap pekan).    "Kakak!" Mulut Tuke manyun ke arah Toscalb. "Halaman berapa yang ingin kamu dengar dariku?" Memang dia ke mana-mana selalu bawa buku, katanya waktu amat berharga kalau dibiarkan berlalu begitu saja tanpa membaca.    Katja ikutan manyun di samping Tuke. "Kenapa Kakak kerjanya di situ situ terus? Betah ya? Atau pecinta zona nyaman?" Toscalb langsung menutup bukunya. "Tuke sayang mengapa kamu tidak mempertanyakan orang-orang korupsi, memalak rakyat, begal, mafia hukum.    "Para penguasa pasar gelap yang menjual macam-macam organ manusi

Kebencian Lingkungan

Gambar
      Penolakan, dengannya rasa sakit terundang. Tak peduli keadaan yang disakiti, selama hasrat buas tetap terpenuhi dan gengsi tetap utuh terbingkai di singgasana hati.    Menyiarkan 'kebenaran' di tengah lingkungan yang menganggap 'kebenaran' itu relatif adalah suatu penyiksaan tiada tara. Mengobati dan tetap terus disakiti. Perkataan busuk yang terbalut banyak macam tipuan.    Yang diinginkan hanya satu, 'pergi' dari perkumpulan yang dianggap telah dikuasai dengan segala pola pikir 'membangun peradaban' nyatanya hanyalah pengusiran dengan bahasa yang lebih bisa diterima orang banyak.    Barometernya 'orang banyak' enggak lain. Mau gimana lagi 'gengsi' pengendalinya. Kebencian demi kebencian akan segala hal yang tak sejalan dengan keinginan dan pikiran.    Hingga ketika kaki melangkah meninggalkan 'lingkungan kebencian' itu, sorak sorai pun terdengar memekikkan telinga. Sebegitu tingginya antusias agar menjadikan orang lain sel

Penekuk Kebenaran

Gambar
     Ketika aku mau mana ada yang boleh mencegah!? Aku yakin di mana-mana selalu saja ada yang suka dan tak suka, yang paling masalah yang tak suka ini, bertingkah seolah-olah aku harus patuh padannya tak terhingga persen! Enggak tahu diri!? Aku!? Atau mereka!? Atau!?    Sekali aku ingin melangkah, jangan coba-coba mencegat, sebab titik kebahagiaan kita berbeda. Memangnya kamu siapa!? Sang pembiaya hidupku!? Ya, meski yang kamu utarakan adalah kebenaran, walaupun mungkin hanya versimu. Ingat ya, ini 'me time!'    "Kamu maunya apa sih!?" Tanyanya pada pelatihnya. Geram si pelatih, gila! Harusnya itu pertanyaanku! "Kebalik!" Dadanya berkecamuk penuh amarah. "Iya gimana!?" Bentaknya dengan suara tinggi. Pelatihnya sudah muak, rasanya ingin sekali meremukkan seluruh tulangnya hingga lebur seperti pasir lalu dilempar ke tengah laut! "Malah diem lagi! Dasar beg*!" Ketusnya.    Sebenarnya bisa saja si pelatih langsung meleburkannya. "Ngila,

Sepuluh Dan Satu

Gambar
       Selalu dibanding-bandingkan sudah menjadi konsekuensi kehidupan, yang terpenting tetap bisa ambil hal baik dari para pembanding dan jangan sampai terpental, ingat aliran magma di dasar lautan? Tirulah mereka.    segala sesuatu tentu ada manfaatnya. Dunia ini fase yang tak kalah sebentar kok dengan fase perut Ibu, yakin deh, buktinya sekarang aja enggak kerasa udah tahun 2022 aja. Bersabar diiringi do'a, dzikir, dan sholat, tentu juga dengan usaha, tak peduli sekecil apa pun itu, yang penting tetap berusaha.     Lalu jangan lupa juga bersyukur atas segala kenikmatan yang lalu, sekarang, dan hari esok (se-sedikit apapun itu), sebab kalau dengan yang sedikit saja tak bisa menghitung, mana mungkin juga dengan yang banyak tiba-tiba bisa menghitung, mau ngelawak nih? Hehe.    Tak akan bisa mengubah sifat, apalagi karakter orang sekitar supaya bersikap sesuai dengan keinginan kita, yang ada sih adaptasi lalu jangan sampai ikut-ikutan dengan karakter yang tak baik, bila sudah tak bi

Rasa Memiliki

Gambar
         Perih dirasa    Dari mana datangnya?    Tiba-tiba saja setelah kehilangan     Diri pun linglung       Tatapan yang diiringi rasa memiliki    Terus menerus mengalir hingga tak terbendungkan    Mengapa juga rasa ingin memiliki itu datang!?    Buat apa!? Sangat tak pantas! Hinanya!    Bosankah dengan keadaan saat ini!?    Bisa-bisanya merutuk tanpa henti    Memang apa gunanya bertingkah seperti itu!?    Harusnya memang merenung ke manusia papa    Bukankah di dunia ini para penderita tak sendiri!?    Tak usah berlagak paling sengsara!    Tak tahu malu!     Atau—memang tak punya malu!?     Tragisnya fenomena!     Mengapa juga harus memaksakan diri untuk punya!?     Seperti yang orang lain punya!?     Apa tak ada kelapangan di dada itu!?     Menangisi anugerah yang harusnya disenyumi     Entah otak terbalik atau teracuni rasa itu     Prahara keinginan dunia ini, jangan samakan!     Dengan orang lain!      Memangnya KEMATIAN DAN KELAHIRAN SAMA!     Sidik jari kita semua berbeda!    

Tosca Hijau

Gambar
       Ke mana kerlipan itu berlalu    Ke situ juga ujung-ujungnya    Baru kerlipan, belum percakapan    Si Tosca Hijau memang memukau    Bukan hanya pecinta hijau daun     Banyak sekali yang terpana     Akunnya pun tak senorak para rusuk liar     Cukup sekedarnya, karena memang aset itu mahal     Hanya yang murah yang mengobral     Karena tahu permata bukan untuk diumbar     Pun bukan konsumsi publik     Kalau memaksa orang banyak untuk tahu     Jangan-jangan fasilitas umum!?     Bukan menghina atau menuduh     Indikasinya tak berbeda      Biar telah pergi ke punggungan lain      Goresan senyumnya terasa menyatu di jiwa      Bukan guyonan, memang kenyataan      Tak mungkin dibuat-buat      Tulisan ini pun berjalan begitu saja      Tosca Hijau memang beda      Benar-benar sadar kondisi      Kalau permata itu barang mahal       Bukan bahan obral di media atau semisalnya      Betapa bahagianya yang telah membersamainya      Mutiara Priangan timur      Memang tak ada yang sempurna      &q

Menang Sendiri Sampai Mati

Gambar
        Terbesitlah butiran-butiran menang dari sudut egois Memulainya, menghakimi, dan menjustifikasi. Keahlian tak terbantahkan, memuntahkan rasa ketidaksukaan tanpa analisa dan korelasi diri kalau sebenarnya yang lebih pantas dimutilasi pendapat adalah diri sendiri.    Merengkuh, terdiam, meminimalisir kerusakan untuk banyak kalangan. Tak bisa mendengar hanya bisa didengar. Berpergian sebagai alasan yang tak bisa terbantahkan. Menetap hanya akan mendatangkan kepenyakitan dan kematian.    Hidup dalam mati, kepatuhan hanya semboyan yang akan digunakan di tempat tertentu, lebih tepatnya tempat sampah rombeng yang dipenuhi muntahan serta belatung yang bergeliat untuk menyuarakan keinginannya yang harus selalu dipenuhi sampai mati.    Sudah berbentuk rombongan, rombongan menang sendiri enggak ada yang ngalahin sampai mati. Orang-orang sekitar pun tak ada yang berminat meruntuhkan sifat alamiah rombongan itu, terlalu beresiko, sangat menghabiskan banyak waktu berharga jika harus berseteru

Ruangan Lain

Gambar
        Berat memang berlapang dada Maunya menang terus Enggak peduli kondisi Ke sana ke mari Menipu diri    Omongan busuk orang tua Ngajarin enggak benar! Bangkai berkedok nasehat Kotoran manusia mungkin lebih baik Ke mana pun, selalu dibela!     Membandingkan dengan tujuan pendidikan! Omong kosong! "Emang elu umur berapa!?" Hah! Ternyata lebih tua dari presiden! "Kenapa masih gini-gini aja!?" "Terlalu sibuk ngoreksi orang lain ya!?"    Ruangan lain Sapaan palsu Imbauan basi! Semuanya bau! Lupa gosok gigi, bukan!? Menyendiri tapi tak sendiri    Tindakan busuk! Hanya topeng seremonial belaka! Bangka!  Selalu mau didengar! Lupa mendengar! Mulut comberan mutasi leluhur! Hancur! Demi hasrat dirinya dan orang-orangnya!    Enggak usah tersinggung! Dunia ini bukan kalian doang! Ada kami! Buta ya! Tuli!? Atau—enggak nyangka!? HAHA! NGACA! Sebelum enggak nyangka! Emang kalian siapa!? Kumpulan malaikat!? Malaikat cuci tangan! Manis di depan! Belati racun di belakan

Sialnya Sebuah Ketergesaan

Gambar
         Kesadaran yang telat, bersama dengan udara penyesalan yang menyesakan. Kertas sudah dicorat-coret, terisi penuh! Menghapusnya adalah 'membuang' atau 'dibuang' atau 'leburkan' dan 'daur ulang' lalu tata sesuai kapasitas serta realitas yang sesuai.    Mulut tajam, bukan dari seorang wanita, mata sipit perut buncit, mulut tak pernah mau berhenti berdecit, sampai mati katanya akan tetap cerewet tanpa pikir. Takarannya 'kepingan harta' gak ada yang lain, kalaupun ada sedikit saja, bagai 10% dari 100, atau bahkan 5% atau 1% saja lah!    Tak ada maksud, kecuali menyemangati dan menyadarkan, katanya. Sudut pandang hanya dari kedua mata yang ada di tempurung kepalanya, tidak adakah tempurung-tempurung kepala lain? Ataukah merasa tempurungnya paling berkualitas dari yang lainnya!?     Menderu-deru kendaraannya ketika dini hari saat orang-orang sibuk membenamkan rasa termakasihnya pada Yang Maha Mulia. Alasannya pencarian karunia itu baiknya dilaku

Maaf Untuk Terimakasih

Gambar
        Pergi berdua menuju lembah terang nan terjal. Menikmati hembusan berbagai 'sambutan-keselamatan'. Atau karena kita hanya terlalu berkhayal dengan semua yang telah memaksa untuk bergerak.    Jalan kembali dan penyesalan. Permukaan tanah itu terlihat meliuk-liuk, bengkok-bengkok. Mataku berhalusinasi. Meratapi kaki yang berjalan di jalan kotor yang tercela. Ranting-ranting dibiarkan tanpa asupan dari akar yang dulunya 'kekar'.    Pergi ke mana? Untuk terimakasih atau untuk maaf? Berjalan keduanya seiringan? Berpisah lalu bersatu lagi, sudah tak sama, menatap di titik yang sama, berpikir dan berkelana entah ke mana.    Siang, sore, malam—tenggelam di 'free will', ternyata hanya khayalan yang tak tersampaikan. Patah! Dari 'kramat djati' menuju jalan terik 'Cirebon', naik sepeda di tengah padang bulan, ketika Nahirtif masih di sana untuk 'memghafal' dan 'belajar', kini—terpisah.    Hanya, dengan segala kerendahan dan kepesimisa

Tak Berhati

Gambar
        Rentetan sikap hanya pelancar ambisi maruk Tak mungkin mengaku, karena malu Perkataan para tokoh pun hanya digaris bawahi, tentu yang hanya sejalan dengan hati buasnya. Senyuman pun sebatas pendukung misi.    Sudah biasa, orang-orang yang menghadang tak lagi jadi kicauan, fokusnya hanya satu, SESUAI KEINGINAN! Gak peduli orang lain mau bilang apa! Itu sangat tak penting! Biarpun seluruh makhluk menjauhi, itu bukan tujuan!    Tujuannya hanya 1 SAJA! "SESUAI KEINGINAN!" jika tidak akan terus berpaling sampai hilang nyawa dari raga. Enggak keras, hanya prinsipil. Bagus! Kalau sesuai jalur yang telah ditentukanNya. Jika tidak!?    Terkadang kontras. "Duh kenapa kok kamu di rumah aja? Gak kerja aja? Masih muda juga." Karena demi perkataan sebagian manusia yang hanya wujudnya saja manusia, jiwanya lepas buas, seperti hewan, bahkan lebih!    Komentar itu lebih dipikirkan dari keridhoanNya. Menjadi-jadilah, semua yang coba menghambat apa yang dikatakan si buas itu a

Yang Diselisihkan Akan Terang!

Gambar
        Seberapa banyak ....   Seberapa kuat memanggil dan mempengaruhi,    Sehebat apa pun lidah berkelit,   Demi banyaknya keinginan yang jauh dari bebas, muara murka pasti ujungnya!    Secanggih apa pun tempat perlindungan,   Suatu saat, pasti tak berdaya,    Sekarang memang belum percaya!   Di hari yang pasti datang, semua kebanggaan bebas, bebas terbelenggu, mungkin?    Tentu ....   Yang sekarang kelihatannya kalah, rendah, mungkin juga dianggap sampah, hari yang akan mengungkap semua ilusi ini akan datang! Tak apa terluka hari ini, besok, lusa, bulan depan, tahun depan,     Atau—kapan pun itu,     Kejorokkan yang sudah terlanjur dituhankan,       Bersama kemalasan, lengkap rasanya 'jorok' dan 'malas' saling bahu-membahu dalam banyak hal! Tak peduli dinilai sangat salah sekalipun, yang penting konteksnya tetap bekerja sama!    Badan berkeringat, aroma asam menjalar ke setiap sudut ruangan, membuat mual siapa pun yang mendapatinya, kecuali orang-orangnya.    Tak ada

Dimsum Pelayaran

Gambar
    Sebelum tahun 205SM-219 pelayaran Desa terpencil itu masih digeluti oleh segelintir orang saja, semua mulai berubah setelah kedatangan Bamru dari pulau seberang, dia benar-benar ingin mencapai yang mayoritas orang tidak mau menempuh pencapaian itu.    Harta, Tahta, dan Wanita, seringkali jadi pemberat dalam mempertahankan sebuah ideologi, tak jarang ketiganya membuat lenyap keidealis-an seseorang.     Pelayaran nekatnya dari Netawag sebenarnya hanya pelarian dari siklus kehidupan warga desanya yang selalu berlomba dengan keras dalam meraih kepingan harta; rumah megah, tanah, kendaraan, dan perputaran uang yang stabil, serta tak lupa makan enak setiap baru dapat uang, lupakan 'bertahan hidup' untuk hari esok, penuhi hasrat duniawi meski besok hanya menelan udara yang dikhayalkan dalam bentuk pangan dan teman-temannya.    Hingga dia memutuskan untuk singgah di pulau 'Ulap Tira', hanya sekedar meluruskan punggung dengan makanan ringan, lalu kembali berlayar.    Betul!

Tidak Terasa

Gambar
        Rumah yang tak besar juga tak kecil, tak panas juga tak dingin. Awal perantauan, dari kata 'sementara' hingga sepertinya 'selamanya'.    Aku, pergi merantau, seorang diri, bersama jiwa dan ragaku. Hanya untuk bekerja, karena mungkin mental 'budak' sudah terlalu merekat di tulang ini.    Bertahan hidup tujuan utamanya, agar tak menengadahkan tangan sebagai 'peminta-minta' berpeluh aku di Kota itu. Tugu plang besar menjadi ingatan yang tak terlupakan hingga tak terasa ini cucuku sudah 4. Begitu cepat semuanya berlalu.    'Ohusepe!' plang megah menjadi penyambut kedatanganku ke Kota itu. Yang benar-benar membuatku tak habis pikir adalah, 'GLEK!' naik turun jakunku dengan sendirinya. Kedua anakku menjalankan bisnis terlarang!    Benar-benar di luar rencana dan mimpiku, tak pernah aku berangan punya bisnis seperti itu, meskipun duitnya menggiurkan, meski keadaanku yang lebih terkesan compang-camping begini, aku setidaknya tahu apa yang

Kebetulan Cukup Umur

Gambar
        Tawaran itu datang bersama kebutuhan yang sesungguhnya. Gaya, gengsi, gak suka menjadi penunda untuk kebaikan yang amat sangat dibutuhkan, apa lagi kalau bukan latar belakang keluarga yang sudah mendarah tulang.    Kalau orang-orang baru pertama ketemu, biasanya bawaannya 'emosi!' kalau udah kenalan cukup lama mah bawa enteng aja, misalnya dengan slogan, "Adanya cumen itu, kalau gak mau ya terserah, telan angin maeih boleh kok."    Kebetulan cukup umur, ya bisa segera menemukan yang sesuai 'keingian' yang gak ada ujungnya, kecuali 'kematian' itu pun nampaknya belum cukup, haru lebih dari kematian, karena dari salah satu sumber valid pernah bilang, "orang-orang yang kebiasaanya 'ngebantah' akan tetap negbantah di 'kehidupan kedua nanti'.    Mati dan bangkit sesuai keadaan dan kebiasaan masing-masing orang. Semoga aja kebiasaan baik melekat di jiwa dan raga siapa pun, karena itu adalah terapan dari musuh yang bakal nemenin ko

Enggak Terlalu Berharap

Gambar
        Ya begitulah bung hidup, nggak selamanya lu tinggal di ketiak orang tua terus, makai barang orang tua terus, ada masanya suatu saat nanti lu bakal berjuang sendiri bersusah payah untuk menghidupi dirimu sendiri.    Kalau elu yang saat ini masih tinggal di ketiak orang tua, jangan coba ngebacotin orang lain yang udah berusaha gak tinggal di ketiak orang tua, elu masih makan gula tapi masih pakai sendok.    Bukan juga mau ngadu kesombongan, cumen tetep aja gak bakal bisa elu terima, karena memang elu belum nyobain jalan terjal yang satu ini, mengomentari dengan tajam terkadang memang nikmat betul, lebih nikmat lagi kalau sudah tiba waktunya untuk merasakan jalan terjal itu.    Enggak usah terlalu berharap segalanya akan berjalan sesuai dengan apa yang elu inginkan. Pasti gak akan begitu. Elu pergi mengucilkan atau apa pun itu bentuknya, satu kata ini bisa jadi pamungkas, 'enggak terlalu berharap'.    Jikapun diabaikan, bahkan tak dianggap, itu masih lebih baik dari pada b