Maaf Untuk Terimakasih

    



   Pergi berdua menuju lembah terang nan terjal. Menikmati hembusan berbagai 'sambutan-keselamatan'. Atau karena kita hanya terlalu berkhayal dengan semua yang telah memaksa untuk bergerak.


   Jalan kembali dan penyesalan. Permukaan tanah itu terlihat meliuk-liuk, bengkok-bengkok. Mataku berhalusinasi. Meratapi kaki yang berjalan di jalan kotor yang tercela. Ranting-ranting dibiarkan tanpa asupan dari akar yang dulunya 'kekar'.


   Pergi ke mana? Untuk terimakasih atau untuk maaf? Berjalan keduanya seiringan? Berpisah lalu bersatu lagi, sudah tak sama, menatap di titik yang sama, berpikir dan berkelana entah ke mana.


   Siang, sore, malam—tenggelam di 'free will', ternyata hanya khayalan yang tak tersampaikan. Patah! Dari 'kramat djati' menuju jalan terik 'Cirebon', naik sepeda di tengah padang bulan, ketika Nahirtif masih di sana untuk 'memghafal' dan 'belajar', kini—terpisah.


   Hanya, dengan segala kerendahan dan kepesimisan memikirkan yang tak perlu dipikirkan. Maaf itu, benarkah untuk terimakasih? Atau—hanya sekedar basa-basi yang sudah basi. Malam, sunyi, sendiri, mengingat dan—takdiingat. Pudar, menguap.


   Goresan yang tak hilang. Melekat sampai tak ada kata 'sampai' atau 'hingga'. Terimakasih untuk maaf, waktu itu hanya sebentar saja ya? Telah berubah dan lapuk. Sudah digantikan. Apa lagi yang harus dicemaskan dan dikhawatirkan?


   Kenangan 'maaf untuk terimakasih' yang tak kunjung hilang? Bermula dari 'ular derik' penuh dosa! Mengekang jiwa lemah.





Komentar

Postingan populer dari blog ini

BAGI YANG MENGHARAM- KAN KATA 'JANGAN', INGATLAH AL-QUR'AN!

Tetapkan Niat, Jelaskan Tujuan

Menghindari Kesusahan