Takut Tergeser
"Jangan kau ganggu singgasanaku!
Terserah aku! Mau nepotisme! Mau menang sendiri! Mau saudara kandung atau teman dekat yang kuangkat sebagai tangan kananku, itu semua bukan urusan kau!
"Apa kau tak punya mata!? Siapa yang berkuasa!? Aku atau diri kau!? Berkacalah! Atau kau tak punya cermin untuk berkaca! Mau cari gara-gara hah! Bod*h nian kau ini! Renungkanlah! AKU INI PENGUASANYA!
"Kedatanganku dari kampung halaman ke kota ini, ekhem ... Untuk mencari penghormatan sejati! Sebab di kampungku penghormatan sangat tragis! TAPI! KALI INI KAU DATANG UNTUK COBA MERUNTUHKAN KERAJAANKU! MAU KELAHI! HAH!?
Aku yang disambar langsung dengan kata-kata tajam itu sontak rusak mentalku. Mataku menatap ke bawah, menatap tanah, berandai tak dilahirkan di bumi ini, segera paksa kutepis, kugerakan kepala ini agar menatap ke mukanya, meski berat tak mengapa, aku pun sudah terlalu geram dengannya.
"Pak, saya bukan bermaksud meruntuhkan, menggeser, mencabut, atau apapun itu bahasanya. Saya hanya coba berlaku jujur, toh ini laporan dari warga yang lebih dulu tinggal di tempat ini pun mengeluhkan akan kelakuan Bapak yang semena-mena, nepotisme, pintar ngoreksi bod*h introspeksi diri sendiri.
"Apa Bapak hanya ingin bayaran tanpa ada kelelahan? Ini belum surga Pak, tentu Bapak lebih cerdas dan pintar dari saya." Aku terdiam sambil menatapnya.
--
Sumber gambar: pixabay
Komentar
Posting Komentar