Hidup Menderita

    Oleh: Ihsan Baihaqi Ibnu Bukhari

24-May-2022

   Kadang kita merasa bahwa hidup kita ini susah bahagia, penuh derita, sengsara terus menerus. Perasaan menderita, kurang bahagia sebetulnya bukan dimiliki orang-orang tertentu. Tak sedikit manusia salah sangka, jika menderita akan dialami orang yang mereka disebut marginal, serba kekurangan. Seperti misalnya kekurangan soal fisik, soal harta, soal rupa dan lain sebagainya. 

   Saya setuju jika kita memiliki “kekurangan”, maka kita punya peluang untuk menderita. Misalnya jika kurang harta, banyak keinginan yang tak dapat kita dapatkan. Kita hanya bisa terpana saat orang menontonkan propertinya, mobilnya, gadgetnya, kemewahannya. 

   Akan tetapi jika kita punya “kelebihan” apakah berarti kita bebas dan terjamin dari penderitaan? Pernahkah lihat orang kaya susah bahagia? Pernah lihat orang yang serba ada tapi gampang marah? Apakah orang yang gampang marah itu Bahagia? Tidak sama sekali. Sesekali marah adalah normal karena kita melihat ada yang tidak beres di sekitar kita. Tapi jika kita gampang marah, jangan-jangan sebetulnya yang tidak beres bukanlah keadaan di sekitar kita tapi keadaan jiwa kita. 

   Atau benarkah ketika punya banyak uang untuk membeli banyak hal lalu kemudian hidup kita di jamin tidak menderita? Apakah jika banyak hal sudah dipunyai, jika banyak benda sudah didapatkan, keinginan itu akan berhenti? Pernahkah Anda lihat orang yang berpunya justru kebingungan bagaimana mendapatkan “nikmat” makanan? Bukan soal mengenyangkan, tapi menyenangkan. Karena semua hal pernah dicoba, tidak ada lagi makanan istimewa lagi yang ingin dicoba. Berbeda mungkin dengan si papa yang memakan pizza saja sudah antusias luar biasa.

   Atau ada orang yang menyangka sebagian orang diberikan previllage dengan ketampanan di wajahnya, kecantikan rupa atau kemolekan tubuhnya. Akhirnya dia mudah dapat jodohnya, mudah terkenal, disukai banyak orang jadinya. Benarkah ia bebas dari penderitaan pula? Coba saya tanya kepada Anda yang dibilang cantik dan ganteng oleh orang-orang di sekitar Anda, benarkah sepanjang hidup, Anda bebas dari penderitaan? Setidaknya ujian semacam jadi objek iri, dengki, fitnah, salah sangka, menjadi hal yang biasa. 

   Sebagian orang punya prestasi akademis yang biasa, aku tidak cerdas, membuatkah jadi menderita. Pertanyaannya, benarkah jika Anda jadi orang cendekia, sebutlah IQ Anda 150 apalagi di atasnya, benarkah Anda bebas dari menderita? 

   Saya pernah menyimak di salah satu wawancara podcast mantan Menteri yang menurut saya sangat cerdas orangnya. Narasumber ini adalah seorang laki-laki, dokter spesialis, dia cerdas, sudah belasan ribu buku dia baca. Idenya, pikirannya, out of the box. Banyak juga followernya. Banyak orang terpesona dengan kecerdasannya. Saya pun mungkin memfavoritkannya jika ia tidak menafikan Tuhan dalam kehidupannya. Akal pikirannya luar biasa jika kita mendengar pemikiran-pemikiran cerdasnya. Tapi dia mengaku bahwa hidupnya depresi bertahun-tahun hingga sekarang. 

   Sebagian orang yang tidak diberikan Tuhan amanah anak merasa bahwa hidupnya sepi, ia menderita. Tapi benarkah yang punya anak pasti hidupnya bahagia? Bukankah anak-anak mereka yang banyak itu juga ada masa di mana mereka akan pergi dari hadapan orangtuanya? 

   Atau mungkin sebaliknya, sebagian orang menyangka betapa repotnya pernikahan, hidup serba terbatas dan karena selalu berisian dengan kepentingan anak dan pasangan atau betapa mereka yang punya banyak anak, mulai dari hal yang kecil, menghadapi berantemnya, kerewelannya sampai mungkin yang besar pendidikannya, biayanya, memikirkan masa depannya. 

   Tapi benarkah sedikit punya anak, atau malah tidak punya anak, pasti bebas dari penderitaan? Bayangkan kita jadi mereka, bukankah mungkin sudah bosan setengah mual saat terus-terusan ditanya: kapan menikah? Sudah nikah, kapan nih tante om melihat keponakan? Sudah ada keponakan, kok gak nambah? Sudah nambah, kok banyak amat anaknya? 

   Kesimpulan dari itu semua: tidak ada satupun orang yang tidak akan ditimpa penderitaan. Kaya atau miskin, rupawan atau tidak, berilmu atau dungu, cendekia atau biasa. Bahkan, jika Anda pernah mengatakan betapa tidak mudah jadi orang baik. Maka saya katakan, jadi orang tak baik pun juga tidak mudah. Coba saja Anda “magang” jadi maling sebulan. Apakah yakin untuk jadi maling yang sukses itu gampang diraih begitu saja? 

   Jadi, berharap tidak menderita sama sekali sepanjang hidup kita, hanya utopia. Jiwa, seperti tubuh kita, tak mungkin tak pernah merasakan sakit. Sesehat apapun kita. Kita, adalah makhluk yang tak sempurna. Kita harus terima kenyataan itu. Bahkan Tuhan saja menurunkan kita ke dunia (jika Anda percaya dengan Tuhan itu juga) bukankah adalah bagian dari penderitaan? Ngapain coba kakek-nenek moyang kita Adam & Eve diturunkan ke dunia yang fana padahal tadinya sudah ada di surga yang segala ada? 

   Jadi, daripada menghindari bahwa penderitaan sama sekali tidak boleh menimpa kita, yang lebih realistis adalah bagaimana caranya kita tidak terus-terusan menderita atau kalau memungkinkan, lebih baik lagi bagaimana jika kita dapat berdamai dengan penderitaan itu sehingga kita dapat menerimanya bahwa itu bagian dari kehidupan kita? Bukankah jiwa kita terus-terusan menderita karena kita tidak menerima bahwa kita memiliki kekurangan? Kita tidak menerima bahwa tidak semua hal akan kita dapatkan.

   Apa yang dapat kita lakukan untuk tidak terus-terusan menderita? Pertama, harus punya rujukan yang jelas. Rujukan itu boleh saja orangtua kita, leluhur kita, guru kita, yang lebih berpengalaman dengan kehidupan dan Anda memiliki “kepercayaan” pada mereka. Atau sekalian, pada Sang Pencipta Kehidupan. Sekali lagi, itu pun jika Anda “percaya” Tuhan. 

   Tidak dapatkah kita menemukan kebahagiaan dan kebenaran tanpa harus merujuk pada sebuah petunjuk? Ada kisah menarik yang pernah saya baca di sebuah buku tentang diskusi seorang ayah dan anak tentang ini. Mungkin kisah ini sudah popular dan Sebagian Anda sudah mendengarnya, tapi saya akan ceritakan lagi di sini. 

   Seorang anak menyatakan pendapat bahwa manusia bisa menemukan kebenaran tanpa harus ada merujuk kemanapun. Kenapa? Karena manusia sudah punya akal untuk berfikir. Sementara sang ayah mengatakan bahwa manusia tetap harus punya rujukan. Sang Ayah menghargai pendapat anaknya dan tidak berpanjang mendebat pendapat anaknya.

   Keesokan harinya si Ayah mengajak anaknya berjalan-jalan ke kota dengan menunggang sebuah keledai. Saat di tengah keramaian orang, orang-orang itu pun berkomentar: Betapa teganya dua manusia ini, sekecil keledai harus menderita karena ditunggangi dua orang. Mungkin dianggap mereka berdua tidak berperikehewanan. 

   Hari berikutnya si Ayah mengajak lagi anak ke kota lagi. Tapi kali ini hanya Ayah yang menaiki keledai, anaknya berjalan kaki. Ketika melewati kerumunan banyak orang, mereka pun dapat komentar lagi: Ini Bapak gimana sih, kok tega anaknya malah suruh jalan. Dasar orangtua egois!

   Hari berikutnya si Ayah melakukan hal yang sama, pergi ke kota membawa keledai tapi kali ini yang naik adalah anaknya, sementara ayahnya berjalan kaki. Ketika melewati kerumunan orang, mereka pun mendapat komentar lagi: Anak nggak sopan, nggak tahu diri, masa orangtuanya suruh jalan, dia enak nunggak kuda. 

   Dan terakhir, mereka melakukan hal yang sama pergi ke kota membawa keledai tapi kali ini tidak ada yang naik keledai. Ayah dan anak keduanya berjalan kaki. Ketika melewati kerumunan orang, apakah mereka “bebas” dari komentar? Ternyata tidak. Apa kata sebagian orang: lah punya hewan tunggangan kok tidak dinaiki apa dua orang ini nggak punya otak? 

   Setelah melewati beberapa kejadian itu si Ayah bertanya pada anak: lihatlah Nak, semua orang punya standar kebenarannya sendiri bukan? Meski manusia punya akal pikiran, setiap manusia akan memiliki pemikiran berbeda-beda tentang mana yang baik dan mana yang buruk. Mana yang benar dan mana yang salah. Jika tidak ada standar rujukan yang jelas maka manusia pun akan kebingungan bukan? 

   Demikian juga soal penderitaan, kita harus punya rujukan soal ini. Misalnya jika pake rujukan Tuhan, Tuhan mengatakan bahwa kita memang manusia diberikan kehidupan untuk menghadapi ujian: siapa diantara manusia yang lebih baik perbuatannya (QS. 67:2). Ujian sendiri pada dasarnya adalah proses yang harus dipersiapkan dengan usaha dan kesusahan, jika Anda tidak mau menyebut sebagai penderitaan. Jika boleh memilih, tentu semua mahasiswa pengennya langsung lulus dapat gelar tanpa harus ada ujian, tanpa harus ada skripsi, tanpa harus ada disertasi bukan? 

   Jadi rasanya jangan ge-er jika kita pernah diberikan sebuah penderitaan, lalu kita merasa bahwa kitalah orang yang paling menderita di dunia. Jika kita pernah merasakan bahwa hidup kita sangat berat, berat sekali sehingga ingin rasanya mengakhiri kehidupan ini, maka mungkin kita kurang “gaul” saja. Jika kita mau mendengar cerita bagaimana ujian orang lain, mungkin pikiran kita akan berubah. Ternyata, setiap orang punya penderitaannya masing-masing. Bahkan boleh jadi kita tidak akan sanggup merasakan derita seperti orang lain menderita. Derita yang menimpa kita sebetulnya sudah sesuai takaran kita.

   Kedua, harus belajar, berlatih, punya kompetensi untuk lulus ujian. Apa yang seharusnya dilakukan seseorang yang ingin diterima di perguruan tinggi favoritnya? Apa yang seharusnya dapat dilakukan seseorang jika ingin dapat menjawab atau melewati soal-soal ujian kehidupan?  Jawabannya: belajar dan berlatih dengan benar. 

   Ujian yang menimpa hidup kita pada dasarnya tidak akan terus menjadi ujian jika kita mampu melewati ujian itu. Jadi, penderitaan yang kita rasakan seharusnya tidak terus-terusan betah ada pada jiwa kita, kita cukup punya kompetensi menghadapinya. 

   Oh ya harus dibedakan di sini lebih dahulu bahwa ujian berbeda dengan kelalaian. Tidak semua penderitaan yang kita rasakan datang dari ujian Tuhan. Sebagian sebetulnya akibat dari kelalaian kita sendiri. Kadang sebagian orang menyangka bahwa kesusahan yang dia rasakan adalah dari Tuhan. Dengan gampang mereka mengatakan: ini ujian Tuhan. 

   Jika ujian datang karena tidak ada keterlibatan perbuatan kita, tak ada kuasa kita menghindarinya, maka kelalaian sebetulnya datang akibat ulah kita sendiri. Contoh sederhana, bencana tsunami benar adalah ujian, tapi sebagian banjir terjadi karena kelalaian manusia sendiri. Gempa bumi adalah ujian, tapi longsor adalah kelalaian. Abu vulkanik dari erupsi gunung berapi adalah ujian, tapi polusi udara adalah kelalaian. 

   Bedanya mungkin tipis, tapi manusia yang jujur pada dirinya sendiri pasti dengan mudah membedakan mana ujian mana kelalaian. Diamanahi anak kebutuhan khusus adalah ujian, tapi memiliki anak yang tidak mandiri, tidak bertanggung jawab padahal tubuhnya lengkap, tidak cacat, lengkap anggota tubuhnya, adalah kelalaian. Kita tidak menuntut anak-anak jadi manusia sempurna seperti malaikat, tapi setidaknya anak-anak kita tidak jadi syetan jahat. 

   Makin dewasa manusia, makin besar ujian yang akan didapatkan. Agar kita terhindar dari kelalaian dan mampu melewati ujian, tentunya sejak kecil anak manusia harus berlatih, harus dilatih. Tidak mungkin tiba-tiba seseorang dapat berlari puluhan kilometer, kalau tidak melewati belasan kilometer lebih dahulu. Tidak mungkin orang berlari langsung belasan kilometer kalau dia tidak berlatih berlari beberapa kilometer. 

   Tapi sebelum melatih anak kita tentu saja kita harus layak menjadi “pelatih”. Sebagai pelatih, orangtua seharusnya memiliki karakter dan kompetensi yang cukup agar dapat menjadi rujukan dari orang yang dilatih. Maka memiliki anak, adalah anugerah buat orangtua agar mereka terus belajar jadi manusia. Sebab, setiap perjalanan usia anak, masalahnya terus berubah dan berbeda.

   Ketika anak balita kita akan menghadapi tingkah laku : rewelnya, ngamuknya, berantemnya, ngacak-ngacak rumahnya, komunikasi terbatasnya dan lainnya. Ketika anak kita remaja: kita akan melihat mereka mulai jatuh cinta dan karena itu kita harus memastikan anak-anak kita faham dan selamat cara menyalurkannya. Ketika anak kita menuju dewasa: kita pastikan anak kita memiliki kekuatan yang cukup untuk “terbang” sehingga siap berpisah dengan orangtuanya. Sehingga mereka siap dengan ujian-ujian dan penderitaan-penderitaan yang akan mereka lewati kelak setelah kita orangtuanya, tidak lagi di sampingnya. 

   Jadi, anak kita memang tidak boleh lupa bahagia demi mengejar masa depannya, tapi jangan biarkan anak kita terlena dengan kesenangannya dan mereka lupa bersiap diri (dilatih) untuk menghadapi ujian masa depannya. 


---

   Sumber: https://www.abaihsan.id/article-detail?name=Hidup-Menderita






Komentar

Postingan populer dari blog ini

BAGI YANG MENGHARAM- KAN KATA 'JANGAN', INGATLAH AL-QUR'AN!

Tetapkan Niat, Jelaskan Tujuan

Mendefinisikan Keinginan (Kesenangan) dan Kebutuhan